running text

HORAS!!! SELAMAT DATANG DI BLOG HKBP SUTOYO; Jln. Letjend Sutoyo, Jakarta Timur - Indonesia

Sabtu, 29 Februari 2020

SEJARAH ZENDING HKBP

SEJARAH ZENDING HKBP

SPIRIT partisipasi dan kemandirian orang Kristen Batak untuk mengabarkan Injil cukup pekat mewarnai perjalanan sejarah sending Batak. Spirit tersebut semakin berkobar setelah 38 tahun (1861-1899) Injil menggarami kehidupan orang Batak. Mereka atas inisiatif sendiri mendirikan lembaga sending Batak bernama Pardonganon Mission Batak (Persahabatan Misi Batak, PMB) pada 2 Nopember 1899 di Pearaja.

Selama sepuluh tahun (1899-1909) lembaga sending PMB bersifat otonom dan mandiri. Tidak berada dalam struktur RMG (Rheinsiche Missionsgesellschaft) di Tanah Batak. Orang Kristen Batak yang memimpin, mengelola dan mendanai semua kegiatan PMB. Lembaga ini gesit merintis dan menunaikan tugas pekabaran Injil ke berbagai daerah di Tanah Batak. Namun sejak 1910-1920, PMB beralih menjadi bagian dari tatanan struktur RMG dan tampuk kepemimpinan pun berada dalam genggaman misionaris RMG.

Pada tahun 1921, RMG mengubah nama PMB menjadi zending Batak. Sebutan zending Batak bergema hingga tahun 1940-an. Kemudian mulai tahun 1950-an sampai sekarang, zending Batak berganti nama jadi sending HKBP.



Rangkaian pergantian nama tersebut tidak membuat gereja Batak (HKBP) mengabaikan fakta sejarah. Gereja Batak dengan arif menetapkan hari lahir PMB sebagai tonggak sejarah sending Batak. Sehingga setiap 2 Nopember seyogianya merupakan momentum peringatan bersejarah bagi segenap jemaat HKBP untuk merenungkan, mensyukuri dan merayakan perbuatan-perbuatan Allah yang merealisasikan bahwa “...Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan orang yang percaya...” (Roma 1:16).

Tahun ini sending Batak mencapai usia 129 tahun, 2 Nopember 1899-2 Nopember 2018. Apakah pelajaran berharga yang patut kita simak dalam rentang 129 tahun sejarah sending Batak? Masih konsistenkah spirit partisipasi dan kemandirian untuk mengabarkan Injil bergelora dalam tubuh jemaat-jemaat HKBP?


Ikhtisar Sejarah

a. PMB Otonom dan Mandiri, 1899-1909

Penggagas berdirinya lembaga sending Batak Pardonganon Mission Batak (PMB) bukanlah misionaris Jerman (RMG) melainkan orang Kristen Batak atas inisiatif Pdt. Henock Lumbantobing. PMB kemudian jadi lebih populer disebut Kongsi Batak, sedangkan RMG disebut Kongsi Barmen.

Dalam kurun waktu 1899-1909, lembaga sending PMB bersifat otonom dan mandiri, tidak berada dalam struktur formal RMG di Tanah Batak. Orang Kristen Batak mengemban tampuk kepemimpinan, mengelola dan menggalang dana untuk semua kegiatan PMB.

Kongsi Batak (PMB) memfokuskan program untuk merintis dan menyebarkan Injil ketengah-tengah kaum Batak yang masih belum terjangkau misionaris RMG. PMB mengutus para penginjil (evangelis) Batak untuk memulai pekabaran Injil ke daerah Pulau Samosir, Simalungun (Tigaras, Tongging), Pakpak-Dairi (Paropo-Silalahi) dan daerah dataran tinggi Habinsaran-Toba (Parsoburan) yang terletak di perbatasan Tapanuli dengan Asahan Labuhanbatu.

Para penginjil Batak berusaha membuka pos penginjilan. Pos penginjilan di Tigaras jadi pintu masuk untuk menyebarkan Injil ke wilayah Simalungun. Daerah Silalahi jadi pintu masuk pekabaran Injil ke wilayah Pakpak-Dairi.

Evangelis PMB antara lain adalah Pdt. Samuel Panggabean dan Pdt. Friederick Panggabean, St. Ev. Laban Siahaan, St. Ev. Petrus Sitorus dan St. Ev. Musa Tampubolon.

Kongsi Batak menghimpun dana program secara mandiri. Bersumber dari orang Batak Kristen melalui kolekte dan sumbangan para pemerhati sending Batak dalam bentuk uang, hasil panen dan ternak peliharaan. Setiap jemaat giat mengadakan pesta mission atau pesta sending untuk mendukung pelayanan PMB. Kontribusi warga jemaat membuat lembaga sending PMB tidak kekurangan tenaga dan dana untuk menunaikan tugas pekabaran Injil. Bahkan PMB tetap menopang dana untuk tugas diakonia yang telah dirintis misionaris RMG.


b. PMB dalam Struktur RMG, 1910-1920

Pada tahun 1909, Pdt. Henoch Lumbantobing mengundurkan diri dari jabatan ketua PMB antara lain karena para misionaris RMG tidak mendukung kegiatan PMB. Lagi pula Ephorus I.L. Nommensen telah berkehendak mengubah anggaran dasar PMB.

Sejak Juli 1914, sesuai keputusan konferensi tahunan para misionaris RMG, PMB berubah menjadi kas pembantu yang bertugas mengusahakan gaji para pelayan pribumi. Para misionaris RMG berkewajiban menyetor kolekte untuk pekabaran Injil dari setiap jemaat ke kas umum RMG.

Seiring dengan itu kepemimpinan sending PMB diemban misionaris RMG meskipun tetap melibatkan tenaga pelayan pribumi Batak sebagai pengurus. Pdt. Henoch Lumbantobing bertugas sebagai penanggung jawab.

Misionaris RMG merekrut para pelayan pribumi Batak, dari kalangan pendeta dan guru, menjadi tenaga sending atau evangelis PMB. Program PMB tidak lagi hanya berkonsentrasi di daerah sekitar Tanah Batak, tetapi juga mengutus para pelayan pribumi Batak untuk menunaikan tugas penginjilan ke Mentawai dan Enggano.

Pelayan pribumi Batak yang mengabarkan Injil di Mentawai adalah Pdt. Enos Simanjuntak dan sejumlah guru: Karl Simanjuntak, Martin, Kristian Lumbantobing, Lutfer Lumbantobing Philippus Lumbantobing, Titus Lumbantobing, Malon Lumbantobing, Enos Sitorus, Jason Silitonga, Justin Simanjuntak, Manase Simanjuntak, Josua Panggabean dan Hendrik Simanjuntak. Mereka berhasil membuka pos penginjilan atau setasi sending di daerah Mentawai seperti di Sikakap, Puyei dan Karkua. Gr. Manase Simanjuntak tewas dibunuh orang Mentawai penyembah berhala.

Pada tahun 1920, Pdt. Enos Simanjuntak dibantu mantri Andreas Napitupulu mengenalkan dan mengajak warga Kristen Mentawai menanam padi. Mereka membuka lahan persawahan di daerah Silabu. Keberhasilan mereka memproduksi padi menginspirasi para pelayan sending untuk mempelopori usaha menanam padi di daerah lain. Bersama warga Kristen dan penduduk setempat, Gr. Karl Simanjuntak membuka persawahan di Silaoinan, Gr. Martin di Simanganjo, Gr. Jason Silitonga di Saumanga, Gr. Enos Sitorus di Betumongu.

Tugas pekabaran Injil di Enggano dilakukan Pdt. Johannes Lumbantobing dan beberapa orang guru: Manase Simorangkir, Germanikus Hutauruk, Kilian dan Parel. Mereka membuka setasi sending di daerah Enggano antara lain di Kioyo, Abeha, Kiaka dan Pulo Dua. Gr. Parel bertugas di setasi sending Pulo Dua sembari memersiapkan buku liturgi (agenda), katekhismus, nyanyian dan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Enggano.


c. Dari PMB jadi Zending Batak, 1921-1940-an

Misionaris RMG mengubah nama PMB menjadi zending Batak pada tahun 1921. Ephorus gereja Batak yang langsung memimpin lembaga sending Batak. Pengelolaan kas sending Batak tetap tersendiri, tidak terkait dengan dana yang berasal dari RMG di Jerman untuk kebutuhan misionaris RMG di Tanah Batak.

Kas sending Batak menanggung gaji tenaga penginjil pribumi Batak, aktivitas penginjilan serta keperluan urusan diakonia seperti Hephata, Hutasalem dan lain-lain. Ketika itu, diakonia

masih bagian integral dari sending Batak dan kolportase juga melekat dalam pelayanan sending. Diakonia terpisah dari zending Batak setelah tahun 1940-an.

Sejak 1922, pembahasan dan penetapan program sending Batak berlangsung dalam Sinode Godang yang diadakan setiap tahun. Dihadiri para misionaris RMG dan pelayan pribumi Batak. Ini menunjukkan keberadaan lembaga sending Batak sangat penting dan strategis dalam tugas pelayanan gereja Batak, yang pada tahun 1925 resmi bernama “Huria Kristen Batak”. Empat tahun kemudian (1929) menjadi “Huria Kristen Batak Protestan” (HKBP).

Zending Batak konsisten menyebarkan Injil kepada kaum animis di dalam dan di luar daerah Batak. Juga simultan menugaskan para penginjil Batak untuk menopang jemaat-jemaat yang terpencil dan miskin serta menolong orang Kristen Batak di daerah parserahan (perantauan) seperti di Aceh, Minangkabau dan lain-lain. Zending Batak bertekad agar setiap orang Kristen Batak di daerah parserahan tidak berpaling dari komitmen iman Kristen dan persekutuan gereja Batak.

Namun semua program tersebut tidak dapat terselenggara optimal karena zending Batak terbentur dana. Sekitar tahun 1920-an, dari tahun ke tahun, pemasukan kas zending Batak mengalami penurunan dan bahkan defisit. Sementara sejak tahun 1930, setiap tahun, majalah Immanuel mengalokasikan dana sebesar 8.000 gulden untuk kas sending Batak. Ketika itu, pengelola majalah Immanuel sepenuhnya berada di tangan tenaga pribumi Batak dan keuangannya dikelola secara mandiri terpisah dari kas umum gereja Batak.

Pada Sinode Godang 1937, Ephorus Dr. Ernst Verwiebe mengimbau agar para majelis (kerkraad) di setiap jemaat lebih aktif mengajak anggota jemaat mendukung kegiatan sending Batak. Mulai tahun 1938 jumlah dana yang masuk ke kas zending Batak cenderung bertambah. Ini menegaskan bahwa partisipasi dan kontribusi warga jemaat signifikan memengaruhi implementasi program zending Batak.

Namun harapan bahwa aktivitas zending Batak akan semakin lancar tiba-tiba runtuh akibat perang dunia kedua. Pada 10 Mei 1940 pemerintah kolonial Belanda menangkap dan memenjarakan seluruh misionaris RMG beserta keluarganya yang bekerja di HKBP. Keadaan semakin pelik setelah masa pendudukan Jepang (1942) yang memaksa semua orang harus mematuhi perintah penguasa Jepang. Semua dampak situasi sosial politik kekuasaan melumpuhkan zending Batak, komunikasi dengan daerah penginjilan seperti Mentawai dan Enggano terputus dan kebutuhan para penginjil pribumi Batak tidak dapat lagi ditanggulangi.


d. Sending HKBP, 1950-an – 2010-an

Dalam tatanan stuktur HKBP dari tahun 1950-an sampai sekarang, lembaga sending Batak telah tiga kali berubah kelembagaannya. Pada tahun 1951-1971 disebut seksi sending Batak, mulai 1972-2001 departemen sending HKBP dan sejak 2002-sekarang biro sending HKBP. Perubahan tersebut secara substantif tidak memengaruhi orientasi program sending HKBP dan tetap masih senada dengan aktivitas sending Batak (1899-1940-an). Namun sejak tahun 1951-sekarang, pimpinan lembaga sending bukan lagi ephorus tetapi dari kalangan pendeta Batak. Antara lain Pdt Kasianus Sirait (1951-1954), Ds. F. Siregar (1954-1962), Ds. K. Ritonga (1962-1969), Pdt. J.Th. Panjaitan (1969-1970-an).

Aktivitas sending tahun 1950-an berawal dari pembenahan kelembagaan dengan format seksi sending Batak pada tahun 1951. Selama satu dekade (1950-an) program sending Batak berfokus pada upaya mengabarkan Injil kepada kaum animis, penguatan jemaat-jemaat di berbagai daerah, pemulihan semangat orang Kristen Batak di parserahan agar tetap hidup dalam iman Kristen dan persekutuan jemaat HKBP.

Seksi sending Batak mengutus para pelayan HKBP dari kalangan pendeta, evangelis dan bibelvrouw ke daerah-daerah sending antara lain Mentawai, Lho’keutapang-Aceh, Banban

Bedagai, Pakpak-Dairi, Simsim-Aceh Selatan, Sakai, Serdang Hulu, Karo Kampung Tigalingga, Habinsaran-Toba, Asahan Labuhan Batu dan Manduamas.

Pelayan di Banban Bedagai: Pdt. Alarius Pasaribu dan Ev. Lamsana Napitupulu; Pakpak-Dairi: Pdt. David Manik, Pdt. Gidion Simangunsong, Ev. Wilfried Banureah, Biv. Maia br. Butarbutar dan Biv. Listeria br. Sidebang serta 29 guru sekolah; Karo Kampung Tigalingga: Biv. Tiominar br. Napitupulu dan Biv. Pintaria br. Simarmata; Asahan Labuhan Batu: Pdt. M. Hutauruk; Manduamas: Pdt. B. Sitinjak.

Pada tahun 1960-an, bentuk program sending Batak masih berupa kelanjutan dari tahun sebelumnya. Tahun 1960, sending Batak membuka kembali pelayanan di daerah Enggano. Sending memberi beasiswa bagi seorang putra Enggano mengikuti pendidikan di Sekolah Theologia Menengah di Pematangsiantar. Mulai awal 1969, kegiatan sending berlangsung di daerah Kubu, Jambi.
Di beberapa daerah sending, jumlah anggota jemaat bertambah. Seperti di daerah Boang dan Simsim (Pakpak-Dairi), sebagian anggota jemaat berasal dari Islam. Sedangkan di daerah Banban Bedagai dan Asahan Labuhanbatu karena faktor migrasi anggota jemaat dari bona pasogit.
Sejumlah jemaat di daerah sending jadi berstatus resort. Tahun 1961 berdiri resort Banban Bedagai (Sumatera Timur) dan Parsoburan-Borbor (Toba). Tahun 1962 berdiri satu resort di Asahan Labuhanbatu. Sementara sending Batak masih menopang biaya pelayanan jemaat di Parhitean (Toba) dan Inderapura (Asahan) sebagai daerah sending.
Kegiatan sending HKBP tahun 1970-an cukup variatif dan menyebar di berbagai daerah: Mentawai, Sakai, Pulau Rupat, Enggano, orang Jawa di Air Kulim Pekanbaru dan Medan, orang Aceh di Medan, orang Kubu di Jambi, Pinangsori Sibolga, Aceh Selatan, Manduamas, Parhitean, mahasiswa di Yogyakarta.
Tahun 1970 seksi sending menerbitkan media komunikasi Barita Zending HKBP. Tahun 1972 jumlah tenaga dan penerima beasiswa berlipat ganda dari tahun-tahun sebelumnya.
Departemen sending mendayagunakan momentum perayaan Jubileum 75 tahun sending HKBP (1899-1974) untuk menggalakkan spirit partisipasi jemaat-jemaat HKBP dalam pelayanan sending. Antara lain dengan berupaya menggelorakan “mission-minded” (semangat pekabaran Injil) berlandaskan amanat Tuhan Yesus dalam Yohanes 15: 16.
Berbekal kontribusi dana dari anggota jemaat di berbagai daerah pelayanan HKBP, departemen sending mengoptimalkan kursus-kursus pengerja sending, menata gedung dan fasilitas di Hermon Pematangsiantar. Juga mendirikan SD sending, membeli tanah di Kampung Kolam dan di Tanjungmorawa.
Mulai akhir tahun 1970-an, departemen sending mewujudkan format kemitraan dengan jemaat dalam pelayanan sending. Tahun 1978 departemen sending dan dewan sending HKBP Menteng Jakarta melayani daerah-daerah sending di pulau Samosir.
Orientasi program sending HKBP pada tahun 1980-an hampir sama dengan dasawarsa sebelumnya. Tetapi tahun 1980-an, departemen sending semakin aktif menjalin kemitraan dengan jemaat-jemaat dan giat mengadakan evangelisasi sending di jemaat-jemaat.
Departemen sending tetap menindaklanjuti pelayanan di daerah pulau Samosir, Sakai, Enggano, Aceh Selatan, Parhitean (Toba). Pada saat bersamaan, sending HKBP membuka pelayanan di daerah-daerah transmigrasi seperti di Sinunukan Natal (Tapanuli Selatan), Sikara-kara, Sitiung-Sumatera Barat, Pasir Pengarayan-Riau, Tanah Datar-Rengat dan Air Kulim-Pekanbaru. Di daerah transmigrasi, sending berusaha menjangkau orang Kristen Batak dan orang Jawa.
Pada tahun 1982 berdiri dua jemaat HKBP di pulau Samosir yaitu di Salaon dan Janji Marapot. Departemen sending bergerak menopang orang Kristen Batak yang selama ini belum terjangkau di daerah Ranto Panjang, Batahan dan Jambi, Dari antara mereka, kebanyakan migrasi
dari bona pasogit lalu bekerja di perusahaan-perusahaan swasta dan berdagang. Tetapi ada pula pegawai negeri sipil yang berprofesi guru di daerah-daerah terpencil.
Bersamaan dengan itu, departemen sending membantu para mahasiswa Kristen Batak di Padang dan Lampung. Mereka kesulitan mencari tempat indekos yang aman dan belum mendapat pelayanan dari gereja setempat.
Pada tahun 1984, departemen sending menyerahkan pelayanan orang Kristen Jawa di Medan kepada satu resort di distrik Medan Aceh. Departemen sending bermitra dengan HKBP resort Parsoburan melayani warga di daerah pemukiman baru di Sipitung, Parsoburan.
Kemitraan dengan HKBP Tonduhan resort Tanah Jawa melayani warga di Aek Bontar pada awal 1985. Juga dengan HKBP resort persiapan Muara Bungo mengutus seorang pelayan sending ke daerah sekitar Muara Bungo. Begitu pula dengan HKBP resort Jambi mengutus tenaga sending ke Tanjung Jabung. Pada Nopember 1985, departemen sending mengutus dua orang pelayan untuk menopang orang Kristen Batak di Sumatera Barat.
Dalam kurun tahun 1990-an sampai 2010-an, merujuk pandangan J.R. Hutauruk (2011: 322), intensitas kegiatan sending HKBP masih sulit dikembalikan seperti semangat sending pada tahun 1960-an-1980-an.

Secercah Pelajaran
Sejarah sending HKBP (1899-2010-an) menunjukkan bahwa agenda program lembaga sending terfokus pada tiga bagian besar: (a) Menyebarkan Injil kepada kaum animis serta penganut agama lain di dalam dan di luar tanah Batak; (b) Menopang jemaat-jemaat HKBP di daerah terpencil dan miskin; (c) Menjangkau dan memulihkan semangat orang Kristen Batak di daerah parserahan agar tetap hidup dalam iman Kristen dan persekutuan jemaat HKBP. Upaya ini menegaskan komitmen sending HKBP untuk melayani orang Kristen Batak yang selama ini belum terjangku. Sending tidak menghendaki ada orang Kristen Batak yang pindah agama atau menjadi Roma Katolik, Advent, Pinkster, Pentakosta, Kharismatik dan lain-lain.
Cakupan program tersebut menjabarkan secercah pelajaran berharga. Yakni bahwa aktivitas sending HKBP tidak melulu berfokus pada misi “kristenisasi atau protestanisasi” dengan menganggap penganut agama lain sebagai “objek” penginjilan. Tetapi sedari awal sending HKBP justru cukup intens menerapkan misi “pembebasan” dengan berupaya menopang jemaat-jemaat di daerah terpencil dan miskin serta menjangkau orang Kristen Batak di berbagai daerah parserahan.
Dengan demikian, sending HKBP terbilang arif memadukan pola misi eksternal dan misi internal. Sending HKBP menunaikan amanat “penginjilan” dalam Matius 28: 19-20 dan amanat “hukum kasih” dalam Matius 22: 37-40.
Dalam pada itu, sejarah sending HKBP juga mengabstraksikan suatu aksioma historis bahwa ada korelasi yang kuat antara spirit partisipasi warga jemaat dan aktivitas lembaga sending HKBP. Gelora partisipasi warga jemaat dalam wujud kontribusi dana ibarat “bahan bakar” demi kelancaran operasional sending.
Belajar dari sejarah sending, tugas pelayan sending bukan hanya duduk manis di menara gading melainkan harus memiliki semangat aktivisme serta bersedia menggabungkan antara kontemplasi dan aksi. Tentu bersending bukan hanya tugas pelayan sending, tetapi sejatinya dalam diri setiap pelayan HKBP melekat tugas sending. Sehingga seluruh jajaran pelayan HKBP seyogianya giat selalu melecutkan partisipasi warga jemaat.
Sejarah sending HKBP merefleksikan bahwa gerakan partisipasi warga jemaat bagaikan sumur yang menyediakan sumber-sumber kebutuhan pelayanan sending. Spirit partisipasi warga jemaat merupakan “darah” aktivitas sending HKBP. Manakala partisipasi tersebut berangsur redup, berarti pembuluh-pembuluh darah sending akan berhenti mengalirkan arus pelayanan.***

Bahan Acuan
Aguswati Hilldebrandt Rambe, 2004, “Dari Misi Penaklukan (Misi Imperial) ke Arah Misi Pembebasan dan Pendamaian: Suatu Upaya untuk Memahami Ulang Misi Kristen dalam Hubungan Dialogis dengan Agama-Agama” dalam Intim-Jurnal STT Intim Makassar, Edisi No. 6 semester genap 2004, Makassar: STT Intim.
J.R. Hutauruk, 1993, Kemandirian Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
J.R. Hutauruk, 2011, Lahir, Berakar dan Bertumbuh di dalam Kristus: Sejarah 150 Tahun Huria Kristen Batak Prostestan (HKBP) 7 Oktober 1861 - 7 Oktober 2011, Pearaja Tarutung: Kantor Pusat HKBP.
J.TH. Panjaitan (penyusun), 1974, Panggilan dan Suruhan Allah: Risalah dan Kesan-kesan serta Pandangan-pandangan mengenai Pekabaran Injil HKBP untuk Perayaan Jubileum 75 Tahun Zending HKBP 2 Nopember 1899-2 Nopember 1974, Pematangsiantar: Departemen Zending HKBP.
Paul B. Pedersen, 1975, Darah Batak dan Jiwa Protestan, Jakarta: BPK Gunung Mulia

Sumber: https://beritazendinghkbp.blogspot.com/p/profil-pelayanan.html